Persoalan dwelling time yang tinggi di sejumlah pelabuhan bukan hal baru di Indonesia. Hal ini sudah lama menjadi perhatian serius para pelaku usaha dan juga pemerintah. Apa yang telah ditetapkan oleh Menteri Koordinasi Perekonomian Hatta Rajasa pada beberapa bulan yang lalu mengenai waktu dwelling time di pelabuhan paling lambat selama empat hari seolah kini tinggal kata-kata saja karena rata-rata dwelling time di pelabuhan di Indonesia telah menembus waktu sekitar sepuluh hari.
Dwelling time adalah lama waktu yang dihitung sejak barang dibongkar dari kapal sampai dengan barang keluar pelabuhan.
Menurut Ketua Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Iskandar Zulkarnain, tingginya dwelling time di sejumlah pelabuhan di Indonesia disebabkan karena ketidaksiapan pelabuhan dalam mengantisipasi arus barang. Menurutnya, arus barang di Pelabuhan Tanjung Priok, contohnya selama tiga tahun terakhir baik domestik maupun internasional tumbuh sekitar 20%. Akan tetapi infrastruktur yang tersedia belum dapat menampung pertumbuhan yang cukup tinggi tersebut.
Berdasarkan data Iskandar, dwelling time di Pelabuhan Tanjung Priok mencapai 8,7 hari. Hal itu lebih buruk dari negara-negara lain seperti Singapura memiliki dwelling time 1,5 hari, Hong Kong 2 hari, Prancis 3 hari, Los Angeles, AS 4 hari, Australia 3 hari, Port Klang, Malaysia 4 hari, dan Leam Chabang, Thailand 5 hari.
Atas tingginya dwelling time, kata dia, yang dirugikan adalah para pelaku usaha, baik itu pemilik barang, pelayaran, pelaku logistik, dan transportasi darat. Sedangkan pihak yang diuntungkan adalah operator pelabuhan karena peti kemas semakin lama di pelabuhan, tarifnya progresif semakin mahal dan memberikan kontribusi keuntungan bersih, tanpa ada investasi.
Sehubungan akan hal itu, direncanakan untuk mengintegrasikan empat pelabuhan besar (Tanjung Priok, Belawan, Tanjung Perak dan Makassar) dalam sistem inaportnet. Inaportnet memungkinkan antar pelabuhan bertukar data dan informasi melalui portal elektronik yang terbuka. Inaportnet merupakan bagian dari national single windows (NSW) yang ditetapkan pada 2010.
Dengan penerapan inaportnet khususnya di laut, setidaknya bisa ditekan biaya logistik sekitar 30 persen. Rencananya inaportnet diimplementasikan pada pertengahan tahun, untuk saat ini sudah masuk ke sistem sebanyak tujuh perusahaan besar yang memiliki pangsa pasar 60 persen dari total arus barang nasional. Sejalan dengan itu, akan disiapkan pula vessel traffic system untuk memantau lalu lintas kapal sehingga memaksimalkan pergerakan kapal yang lebih aman. (01/03/2014). Sumber : Jawa Pos